Mahasiswa merupakan kelompok elit
masyarakat yang mengemban amanah sebagai agent
social of change, sangat logis jika amanah itu diletakan pada pundak
mahasiswa karena memang dilihat dari sisi akademis, mahasiswa berada di level
tertinggi sebagai kaum terpelajar di perguruan tinggi. Sisi lain, mahasiswa
dengan perkembangan dan pertumbuhan emosionalnya yang cukup matang memiliki sifat
kepeloporan, keberanian dan kritis menjadi ciri dari kelompok elit dalam
generasi muda, yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan,
keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektifitas yang harus diperankan mahasiswa dalam melakukan perubahan-perubahan
di masyarakat ke arah yang lebih baik sebagaimana yang dicita-citakan dalam UUD
dan juga Pancasila. Dalam mewujudkan cita-cita sosial itu, mahasiswa sebagai
pelopornya harus berada dalam suasana bebas merdeka dan demokratis, obyektif
serta rasional agar agenda perubahan tersebut bisa dilaksanakan dengan baik.
Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri dari pada seorang
intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada
hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum
muda-muda
terdidik. Oleh sebab itu mereka harus sadar dan peka akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke
masa depan.
Elliot Turiel sebagaimana yang dikutip oleh Efi Widianti dalam makalahnya
menyatakan bahwa para remaja termasuk
didalamnya ialah mahasiswa akan mulai membuat penilaian tersendiri dalam
menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka,
misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Dengan demikian,
harapannya ialah mahasiswa/i tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku,
sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan,
namun mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan
lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, ia akan lebih banyak melakukan
pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan
dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar dari mereka (mahasiswa) mulai melihat
adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan
dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan
beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan
seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu
lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Lebih lanjut Ia
menyatakan bahwa kemampuan berpikir dalam dimensi
moral (moral reasoning) mulai berkembang seiring dengan adanya
kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan
kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan
merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang
seringkali mendasari sikap "pemberontakan" yang ditunjukan dengan
demonstrasi, unjuk rasa dan sebagainya terhadap peraturan atau otoritas yang selama
ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan
sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Dengan
sendirinya ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan
korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam
suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai dan lambat
laun akan menjadi sebuah masalah besar jika tidak menemukan jalan keluarnya. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis diharapkan mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai "kekuatan
moral" atau moral forces yang
senantiasa melaksanakan fungsi "social
control" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
serta menjadi automatic control, menjaga
dan melestarikan nila-nilai baik dalam kehidupan masyarakt itu sendiri. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan
kelompok yang bebas dari kepentingan apapun
(misalnya: kepentingan politik praktis, golongan dsb) kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi
kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan.
Sebagai kelompok elit, mahasiswa dalam
peranannya diharapkan tidak bersikap elitis dan hanya bergerak di permukaan
saja. Tetapi harus melihat mendalam dan merasakan sampai pada grass root dengan melakukan berbagai
kegiatan kemasyarakatan seperti bakti sosial, penyuluhan dan lain-lain.
Kegiatan seperti ini akan sangat membantu masyarakat sebab dirasakan langsung
oleh mereka. Mengingat “Sebaik-baik umat
manusia aialah yang bermanfaat bagi yang lainnya” kiranya kegiatan seperti
itu sangat tepat dan patut kita lestarikan sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat
demi terciptanya kehidupan yang lebih baik, memberikan pencerahan atas
kegelapan sosial yang menjadi sebab kehancuran peradaban umat manusia yang
terwarisi sifat jahiliyah (bodoh) masa dahulu, penyebab rakyat Indonesia
menderita ratusan tahun akibat segala bentuk imperialisme dan
kesewenang-wenangan penguasa, menunaikan kewajiban untuk “saling menolong dalam kebaikan dan taqwa” dan “saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran”.