Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Selamat Datang Di Blog HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung Salam Hijau-Hitam Yakusa!

Social Icons

Rabu, 18 September 2013

PENDIDIKAN YANG MENCERDASKAN

Oleh : Faiz Al-zawahir*
Zaman terus berganti, manusia telah mengalami hidup dalam berbagai zaman. mulai dari zaman batu sampai di milenium ketiga ini manusia masuk pada abad 21. Konon, kini manusia telah memasuki peradaban modern yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi serta kemajuan industri untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Menghadapi zaman yang seperti ini, kebutuhan-kebutuhan manusia yang dahulu bisa dibilang sederhana saja, seperti sekadar makan, tempat tinggal, pakaian, atau kendaraan, kini detailnya menjadi bermacam-macam dan rumit. Manusia semakin dimudahkan dengan berbagai kecanggihan yang pada zaman dahulu tak pernah terbayangkan, namun juga dihadapkan pada banyak masalah yang tidak ringan.
Salah satu masalah penting yang dihadapi manusia adalah terjauhkannya dari aspek kemanusiaannya tatkala terlalu jauh masuk dalam kepentingan kapitalisme modern. Belum lagi adanya dominasi kekuatan besar yang ingin menguasai manusia pada umumnya untuk kepentingan kekuasaan ekonomi, politik, atau bahkan ideologi tertentu. Pada saat seperti ini, peran pendidikan diyakini penting untuk menjaga hakikat kemanusiaan agar tiada tergerus begitu saja atau membawa kembali kemanusiaan pada wilayah yang sesuai dengan fitrahnya. Jangan sampai kehidupan yang dianggap canggih justru membuat manusia kehilangan kebebasannya karena manusia telah diperlakukan dengan tidak adil sebagai sesama manusia oleh pihak yang lebih berkuasa.
Dalam sebuah bukunya yang berjudul Pendidikan Populer; Membangun Kesadaran Kritis, Mansour Fakih berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan ideologi dominan yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu kehidupan masyarakat yang adil. Tugas yang penting ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil.
Namun, sayang sekali, pendidikan yang dianggap sebagai wahana penting untuk menjaga hakikat dari kemanusiaan ini justru menjadi mesin industri bagi kepentingan pasar. Pendidikan dalam banyak sisi justru melakukan proses peminggiran rasa kemanusiaan karena peserta didik diposisikan sebagai objek yang dikerahkan oleh perangkat pendidikan untuk dijadikan manusia-manusia yang siap pakai di dunia industri dan pasar global. Siap pakai yang dimaksudkan di sini tak ubahnya sebagai mekanik yang sesuai dengan keinginan pasar dan industri. Bila sudah begini, peserta didik akan berlaku tak ubah seperti robot-robot yang sudah tentu semakin terjauh dari kemanusiaannya. Inilah sebuah proses pembelajaran yang berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis.
Proses pembelajaran yang sudah terpola untuk berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis sesungguhnya akan sulit untuk mengarahkan pembentukan karakter pada diri anak didik yang kritis dalam menghadapi persoalan kehidupan. Hasil dari pendidikan seperti ini juga akan sulit untuk mempunyai kepekaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Padahal, mempunyai jiwa yang kritis dan peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat adalah manifestasi dari sebuah pribadi yang tercerahkan dan cerdas. Bila keadaan pendidikan sudah seperti ini, tentu peran pendidikan bukan mencerahkan manusia dan kembali kepada hakikat kemanusiaannya, melainkan justru membawanya menjauhi hakikat kemanusiaan.
Ciri utama dari pendidikan yang mekanistis-materialistis, jika ditinjau dari teori filsafat, materialisme diartikan sebagai paham yang menegasikan dimensi ruhiyah atau nilai-nilai spiritual. Dalam praktiknya, pendidikan yang seperti ini cenderung menekankan penguasaan materi-materi pengetahuan tanpa bobot moral-spiritual yang memadai. Sebagai akibatnya, pendidikan akhirnya dinilai gagal dalam membangun karakter manusia yang cerdas dan bermoral. Pendidikan tak ubahnya seperti mesin industri yang hanya menghasilkan lulusan yang siap untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupan modern.
Penekanan pendidikan sebagaimana tersebut biasanya hanya mengembangkan unsur kognitif daripada unsur afektif yang ada pada diri anak didik. Transformasi ilmu pengetahuan akhirnya hanyalah merupakan penjejalan beragam teori dan informasi atau tak jarang bersifat sangat mekanis. Jadi, tak ada penekanan untuk mengadakan internalisasi nilai-nilai di dalamnya. Praktik pendidikan yang demikian tentu jauh pula dari pengembangan cara berpikir yang kritis terhadap segala persoalan yang terjadi, apalagi menentang dengan mengembangkan sistem baru dalam mengatasi masalah kemanusiaan yang membelenggu.
Apabila orientasi utama pendidikan adalah memenuhi kebutuhan pasar semata maka lembaga pendidikan menjadi mesin industri yang siap memenuhi pesanan pasar. Anehnya, model pendidikan demikian yang sering dinilai sebagai pendidikan yang unggul dan bermutu. Lulusannya langsung dibutuhkan dan diserap oleh pasar yang sesungguhnya adalah kapitalisme global. Sungguh, bila pola pendidikan yang demikian tidak diubah, selamanya akan terjebak dengan kepentingan kapitalisme global yang kita semua tahu telah menjauhkan manusia dari fitrahnya.
Dunia pendidikan tidak lagi menjadi tempat untuk mendapatkan dan mengasah pencerahan, melainkan hanyalah laksana mesin industri yang siap memproduksi anak didik sesuai dengan pesanan pihak yang membutuhkan. Para pemesan dari dunia pendidikan kita sebagian besar dari dunia industri yang kapitalistik. Akibat langsung dari kenyataan semacam ini adalah terjadinya pola-pola kapitalisme dalam dunia pendidikan. Hal ini tentu memprihatinkan. Sebab, dunia pendidikan semestinya menjadi wahana untuk menjadikan anak didik kembali atau senantiasa pada fitrahnya sebagai manusia yang tidak meninggalkan kemanusiaannya, akan tetapi justru terjebak dalam kapitalisme global yang menguntungkan sekelompok tertentu, satu di antaranya adalah para pemilik modal. Sungguh, pendidikan yang semacam ini tidak boleh diperpanjang demi kemanusiaan yang lebih baik di masa mendatang.
Dengan demikian, sudah saatnya untuk bersama-sama menyadari bahwa betapa pentingnya pendidikan berfungsi sebagai wahana untuk membangun kesadaran anak didik agar tetap menyadari kemanusiaannya. Pendidikan jangan sampai menjadi mesin industri sehingga menjadikan anak didiknya robot-robot kapitalisme. Sungguh, pemahaman seperti ini bukan berarti tidak pro dengan perkembangan teknologi dan industri yang memang berguna bagi kehidupan manusia modern. Akan tetapi, jangan sampai pendidikan menjadi mesin industri hingga melupakan untuk membangun kesadaran akan hakikat kemanusiaan.
pendidikan di negara berkembang pada umumnya bukan mencetak para pemikir dan ahli yang mumpuni dengan segal ilmu yang dimilikinya, namun pendidikan di negara berkembang hanya mencetak para pekerja yang siap dipekerjakan sebagai mesin-mesin produksi. hal yang seperti itu bukanlah pendidikan yang seutuhnya karena tidaklah sesuai dengan tujuan pendidikan pada umumnya yaitu memanusiakan manusia menjadi manusia yang paripurna dan tidak selaras dengan tujuan pendidikan berdasarkan konstitusi bangsa indonesia. maka oleh sebab itu pendidikan di negara ini haruslah berorientasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan hal tersebut haruslah terlihat pada sistem,kurikulum dan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
JAYALAH PENDIDIKAN NEGERI INI…!!!!
CERDASKAN PARA PUTRA BANGSA INI AGAR MEMBAWA BANGSA INDONESIA MENUJU PUNCAK PERADABAN…..!!!!!!!!!!

Tim Redaksi

Penanggungjawab : Faiz Al-Zawahir
Pemimpin Redaksi : Ilham Ibn Ishak Al-Bantany
Editor : M. Sichabudin Azmi
Desain Layout : Ilham Ibn Ishak Al-Bantany