Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Selamat Datang Di Blog HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung Salam Hijau-Hitam Yakusa!

Social Icons

Jumat, 01 November 2013

Rethinking Fungsi dan Peran Mahasiswa di Masyarakat



Oleh: Ilham Ibn Ishak Al’-Bantany
(Wasekum KPP 2013-2014)

Mahasiswa merupakan kelompok elit masyarakat yang mengemban amanah sebagai agent social of change, sangat logis jika amanah itu diletakan pada pundak mahasiswa karena memang dilihat dari sisi akademis, mahasiswa berada di level tertinggi sebagai kaum terpelajar di perguruan tinggi. Sisi lain, mahasiswa dengan perkembangan dan pertumbuhan emosionalnya yang cukup matang memiliki sifat kepeloporan, keberanian dan kritis menjadi ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektifitas yang harus diperankan  mahasiswa dalam melakukan perubahan-perubahan di masyarakat ke arah yang lebih baik sebagaimana yang dicita-citakan dalam UUD dan juga Pancasila. Dalam mewujudkan cita-cita sosial itu, mahasiswa sebagai pelopornya harus berada dalam suasana bebas merdeka dan demokratis, obyektif serta rasional agar agenda perubahan tersebut bisa dilaksanakan dengan baik. Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri dari pada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda-muda terdidik. Oleh sebab itu mereka harus sadar dan peka akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan.

Elliot Turiel sebagaimana yang dikutip oleh Efi Widianti dalam makalahnya menyatakan bahwa para remaja termasuk didalamnya ialah mahasiswa akan mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Dengan demikian, harapannya ialah mahasiswa/i tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan, namun mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, ia akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar dari mereka (mahasiswa) mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Lebih lanjut Ia menyatakan bahwa kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) mulai berkembang seiring dengan adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" yang ditunjukan dengan demonstrasi, unjuk rasa dan sebagainya terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Dengan sendirinya ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai dan lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar jika tidak menemukan jalan keluarnya. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis diharapkan mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai "kekuatan moral" atau moral forces yang senantiasa melaksanakan fungsi "social control" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadi automatic control, menjaga dan melestarikan nila-nilai baik dalam kehidupan masyarakt itu sendiri. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun (misalnya: kepentingan politik praktis, golongan dsb) kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan.
Sebagai kelompok elit, mahasiswa dalam peranannya diharapkan tidak bersikap elitis dan hanya bergerak di permukaan saja. Tetapi harus melihat mendalam dan merasakan sampai pada grass root dengan melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan seperti bakti sosial, penyuluhan dan lain-lain. Kegiatan seperti ini akan sangat membantu masyarakat sebab dirasakan langsung oleh mereka. Mengingat “Sebaik-baik umat manusia aialah yang bermanfaat bagi yang lainnya” kiranya kegiatan seperti itu sangat tepat dan patut kita lestarikan sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat demi terciptanya kehidupan yang lebih baik, memberikan pencerahan atas kegelapan sosial yang menjadi sebab kehancuran peradaban umat manusia yang terwarisi sifat jahiliyah (bodoh) masa dahulu, penyebab rakyat Indonesia menderita ratusan tahun akibat segala bentuk imperialisme dan kesewenang-wenangan penguasa, menunaikan kewajiban untuk “saling menolong dalam kebaikan dan taqwa” dan “saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran”.

HMI Membuka Ruang Pemikiran Saya
Mungkin tulisan ini anda kira sangat berlebihan, namun sepanjang perjalanan akademik saya juga dalam dinamika intelektual, baru kali ini saya menemukan ruang pemikiran yang sangat luas, jauh dari kata mengkerdilkan potensi diri kita yang Tuhan ciptakan sangat luar biasa. Ya, di HMI saya menemukan ruang bebas berfikir, mendalam, mentafakuri ciptaan Tuhan sehingga dapat mempertebal keyakinan pada Tuhan itu sendiri. Saya kira tidak bukan cuma saya yang merasakan pengalaman berharga ini, orang-orang seperti Goenawan Mohamad, dalam pengantarnya untuk buku Pintu-pintu Menuju Tuhan, dan Budhy Munawar Rachman dalam pengantar Ensiklopedi Nurcholish Madjid, mengakui terselamatkan dalam iman mereka setelah membaca atau mendengar kuliah dari salah satu Ulama Indonesia yang juga mantan ketua umum Pengurus Besar HMI yaitu Nurcholis Madjid atau yang lebih akrab di panggil Cak Nur. Pergulatan saya tentu tidak seekstrim mereka yang tanpa Cak Nur pun tidak berbahaya. Namun, kultur yang di bangun oleh HMI yaitu lebih menekankan pada aspek kualitas diri sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai tanggungjawab untuk mewujudkan masyarakat adil-makmur sebagai salah satu tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah (wakil) Tuhan di bumi ini sudah barang tentu harus mempunyai kualitas yang tinggi agar cita-cita itu dapat terwujud.  Bukti dari konsistensi HMI menjaga kualitasnya ialah keberhasilannya dalam melahirkan generasi pemikir-pemikir baru seperti Ahmad Wahib, Nurcholis Madjid, Anis Baswedan, Mahfud MD, Jusuf Kalla dkk.
Komitmen HMI melahirkan generasi-generasi yang berkualitas sejalan perjuangan Nabi Muhammad saw ketika menyebarluaskan agama Islam dimana beliau waktu itu terus menggembleng sahabat-sahabatnya dengan strategi yang jitu sehingga tidak jarang pasukan umat muslim waktu itu memenangkan peperangan walaupun dengan jumlah pasukan yang jauh berbeda dengan pasukan musuh. Hal itu karena pasukan muslim memiliki kualitas dan strategi perang yang baik. Perjuangan kita hari ini tentu berbeda dengan perjuangan umat muslim dahulu yang harus berperang di padang pasir tandus. Fajar R. Zulkarnaen (Mantan Ketua Umum PB HMI Periode 2006-2008) mengatakan bahwa perjuangan HMI di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya muslim, telah dapat memegang kembali kendali atas bumi Indonesia. Namun apakah yang telah dikontribusikan oleh muslim pada Indonesia? Tentu saja banyak. Namun bila dibandingkan dengan pencapaian peradaban yang telah diberikan Hindu-Budha pada nusantara di zaman Majapahit dan Sriwijaya, yang jejak-jejaknya dapat dilihat pada Candi Borobudur, Prambanan, catatan sejarah kebesaran perniagaan kerajaan Sriwijaya, dan lain-lain, maka kontribusi muslim di bumi nusantara hingga detik ini belumlah seberapa karena kita belum dapat menghantarkan Indonesia pada puncak peradaban sebagaimana kerapkali kita idamkan.
Marilah kita terus berikhtiar tanpa lelah dan henti karena Al Qur’an memperingatkan kita bahwa ‘Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum (negara) hingga kaum (negara) itu sendiri yang merubah dirinya’.  Begitu juga Tuhan tidak akan merubah diri kita menjadi lebih baik tanpa ada usaha dari diri kita sendiri. Yakin Usaha Sampai...

Billahittafiq Wal Hidayah
Wassalamu a’laikum Wr. Wb. 
*Penulis merupakan kader biasa HMI Kom. Tarbiyah Angkatan Himat Al-Syabab

Tim Redaksi

Penanggungjawab : Faiz Al-Zawahir
Pemimpin Redaksi : Ilham Ibn Ishak Al-Bantany
Editor : M. Sichabudin Azmi
Desain Layout : Ilham Ibn Ishak Al-Bantany