Oleh:
Ilham Ibn Ishak Al’-Bantany
(Wasekum KPP 2013-2014)
(Wasekum KPP 2013-2014)
Mahasiswa merupakan kelompok elit masyarakat yang
mengemban amanah sebagai agent social of
change, sangat logis jika amanah itu diletakan pada pundak mahasiswa karena
memang dilihat dari sisi akademis, mahasiswa berada di level tertinggi sebagai
kaum terpelajar di perguruan tinggi. Sisi lain, mahasiswa dengan perkembangan
dan pertumbuhan emosionalnya yang cukup matang memiliki sifat kepeloporan,
keberanian dan kritis menjadi ciri dari kelompok elit dalam generasi muda,
yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis
yang didasarkan pada obyektifitas yang harus diperankan mahasiswa dalam melakukan perubahan-perubahan
di masyarakat ke arah yang lebih baik sebagaimana yang dicita-citakan dalam UUD
dan juga Pancasila. Dalam mewujudkan cita-cita sosial itu, mahasiswa sebagai
pelopornya harus berada dalam suasana bebas merdeka dan demokratis, obyektif
serta rasional agar agenda perubahan tersebut bisa dilaksanakan dengan baik.
Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri dari pada seorang
intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada
hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum
muda-muda terdidik. Oleh sebab itu mereka harus sadar dan peka akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke
masa depan.
Elliot Turiel
sebagaimana yang dikutip oleh Efi Widianti dalam makalahnya menyatakan bahwa para remaja termasuk didalamnya ialah mahasiswa
akan mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah
populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik,
kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Dengan demikian, harapannya ialah
mahasiswa/i tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan
absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan, namun mulai
mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak
alternatif lainnya. Secara kritis, ia akan lebih banyak melakukan pengamatan
keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan
ditanamkan kepadanya. Sebagian besar dari mereka (mahasiswa) mulai melihat
adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan
dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan
beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan
seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu
lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Lebih lanjut Ia menyatakan bahwa kemampuan
berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) mulai berkembang seiring
dengan adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai
dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu
mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru.
Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" yang
ditunjukan dengan demonstrasi, unjuk rasa dan sebagainya terhadap peraturan
atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil
pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi
itu tidak baik. Dengan sendirinya ia akan mempertanyakan mengapa dunia
sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi
itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan
menimbulkan konflik nilai dan lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar
jika tidak menemukan jalan keluarnya. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis diharapkan mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai "kekuatan
moral" atau moral forces yang
senantiasa melaksanakan fungsi "social
control" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
serta menjadi automatic control, menjaga
dan melestarikan nila-nilai baik dalam kehidupan masyarakt itu sendiri. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan
kelompok yang bebas dari kepentingan apapun (misalnya: kepentingan
politik praktis, golongan dsb)
kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat
hari ini dan ke masa depan.
Sebagai kelompok elit, mahasiswa dalam peranannya
diharapkan tidak bersikap elitis dan hanya bergerak di permukaan saja. Tetapi
harus melihat mendalam dan merasakan sampai pada grass root dengan melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan
seperti bakti sosial, penyuluhan dan lain-lain. Kegiatan seperti ini akan
sangat membantu masyarakat sebab dirasakan langsung oleh mereka. Mengingat “Sebaik-baik umat manusia aialah yang
bermanfaat bagi yang lainnya” kiranya kegiatan seperti itu sangat tepat dan
patut kita lestarikan sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat demi
terciptanya kehidupan yang lebih baik, memberikan pencerahan atas kegelapan
sosial yang menjadi sebab kehancuran peradaban umat manusia yang terwarisi
sifat jahiliyah (bodoh) masa dahulu, penyebab rakyat Indonesia menderita
ratusan tahun akibat segala bentuk imperialisme dan kesewenang-wenangan
penguasa, menunaikan kewajiban untuk “saling
menolong dalam kebaikan dan taqwa” dan “saling
menasehati dalam kebaikan dan kesabaran”.
HMI
Membuka Ruang Pemikiran Saya
Mungkin tulisan ini anda kira sangat berlebihan,
namun sepanjang perjalanan akademik saya juga dalam dinamika intelektual, baru
kali ini saya menemukan ruang pemikiran yang sangat luas, jauh dari kata mengkerdilkan
potensi diri kita yang Tuhan ciptakan sangat luar biasa. Ya, di HMI saya
menemukan ruang bebas berfikir, mendalam, mentafakuri ciptaan Tuhan sehingga
dapat mempertebal keyakinan pada Tuhan itu sendiri. Saya kira tidak bukan cuma
saya yang merasakan pengalaman berharga ini, orang-orang seperti Goenawan
Mohamad, dalam pengantarnya untuk buku Pintu-pintu Menuju Tuhan, dan
Budhy Munawar Rachman dalam pengantar Ensiklopedi Nurcholish Madjid, mengakui
terselamatkan dalam iman mereka setelah membaca atau mendengar kuliah dari
salah satu Ulama Indonesia yang juga mantan ketua umum Pengurus Besar HMI yaitu
Nurcholis Madjid atau yang lebih akrab di panggil Cak Nur. Pergulatan saya
tentu tidak seekstrim mereka yang tanpa Cak Nur pun tidak berbahaya. Namun,
kultur yang di bangun oleh HMI yaitu lebih menekankan pada aspek kualitas diri
sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai tanggungjawab untuk mewujudkan masyarakat
adil-makmur sebagai salah satu tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah
(wakil) Tuhan di bumi ini sudah barang tentu harus mempunyai kualitas yang
tinggi agar cita-cita itu dapat terwujud.
Bukti dari konsistensi HMI menjaga kualitasnya ialah keberhasilannya
dalam melahirkan generasi pemikir-pemikir baru seperti Ahmad Wahib, Nurcholis
Madjid, Anis Baswedan, Mahfud MD, Jusuf Kalla dkk.
Komitmen HMI melahirkan generasi-generasi yang
berkualitas sejalan perjuangan Nabi Muhammad saw ketika menyebarluaskan agama
Islam dimana beliau waktu itu terus menggembleng sahabat-sahabatnya dengan
strategi yang jitu sehingga tidak jarang pasukan umat muslim waktu itu
memenangkan peperangan walaupun dengan jumlah pasukan yang jauh berbeda dengan
pasukan musuh. Hal itu karena pasukan muslim memiliki kualitas dan strategi
perang yang baik. Perjuangan kita hari ini tentu berbeda dengan perjuangan umat
muslim dahulu yang harus berperang di padang pasir tandus. Fajar R. Zulkarnaen
(Mantan Ketua Umum PB HMI Periode 2006-2008) mengatakan bahwa perjuangan HMI di
Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara,
menghantarkannya pada tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad
diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya
penjajah Belanda pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa
Indonesia, yang mayoritasnya muslim, telah dapat memegang kembali kendali atas
bumi Indonesia. Namun apakah yang telah dikontribusikan oleh muslim pada
Indonesia? Tentu saja banyak. Namun bila dibandingkan dengan pencapaian
peradaban yang telah diberikan Hindu-Budha pada nusantara di zaman Majapahit
dan Sriwijaya, yang jejak-jejaknya dapat dilihat pada Candi Borobudur,
Prambanan, catatan sejarah kebesaran perniagaan kerajaan Sriwijaya, dan
lain-lain, maka kontribusi muslim di bumi nusantara hingga detik ini belumlah
seberapa karena kita belum dapat menghantarkan Indonesia pada puncak peradaban
sebagaimana kerapkali kita idamkan.
Marilah kita terus berikhtiar tanpa lelah dan henti
karena Al Qur’an memperingatkan kita bahwa ‘Sesungguhnya
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum (negara) hingga kaum (negara) itu
sendiri yang merubah dirinya’. Begitu
juga Tuhan tidak akan merubah diri kita menjadi lebih baik tanpa ada usaha dari
diri kita sendiri. Yakin Usaha Sampai...
Billahittafiq
Wal Hidayah
Wassalamu
a’laikum Wr. Wb.
*Penulis merupakan kader biasa HMI Kom. Tarbiyah Angkatan Himat Al-Syabab